Aksi Pengintaian Anggota Densus 88 Terhadap Jaksa Muda Kejagung.

Berita, FaktaIndonesiaNews.com – Aksi pengintaian anggota Densus 88 terhadap Jaksa Agung Muda Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah sangat mengejutkan publik. Yang mana dari aksi pengintaian itu pun berbuntut panjang, hingga berakhir pada intimidasi anggota Polri terhadap institusi Kejagung.

Nicky Fahrizal Pengamat Keamanan dari Centre for Strategic and International Studies. Beliau mengatakan jika benar ada anggota Densus 88 mengintai Jampidsus dan tertangkap. Perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap UU No 9/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Bacaan Lainnya

Karena , di dalam tataran operasional, tugas Densus 88 berada di bawah rezim UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Bukan menguntit aparat hukum, seperti pejabat Kejaksaan Agung.

”Kalau di lihat dari aspek hukum, Densus 88 tidak bisa di kerahkan untuk urusan lain. Kecuali berkaitan dengan terorisme dan kontra terorisme. Kalau ada kasus yang berhubungan dengan spionase atau kegiatan memata-matai. Sudah tentu ini pelanggaran terhadap UU tersebut,” kata Nicky di kutip dari Kompas.id.

Dalam sebuah pemberitaan saat Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah makan malam di restoran daerah Cipete Jakarta Selatan. Di duga ada anggota polisi dari satuan Densus 88 yang menguntitnya dan tertangkap basah, Minggu (19/5/2024).

Di Nilai Dari Aspek Hukumnya.

Densu 88 tidak bisa di kerahkan dalam urusan lain. Kecuali berkaitan dengan terorisme dan kontraterorisme  kalau di nilai dari aspek hukumnya, ujar Nicky..

“Kalau ada kasus yang berhubungan dengan spionase atau kegiatan memata-matai, sudah tentu ini pelanggaran terhadap UU tersebut,” imbuhnya.

Menurut Nicky lagi , kalau marwah Densus 88 bisa terganggu dan kepercayaan publik terhadap lembaga itu juga akan berkurang.

Selama ini, mereka di percaya untuk menanggulangi aksi teror, kontraradikalisasi, dan kontraterorisme.

Pertama adalah unit khusus kepolisian itu sudah di gunakan untuk urusan yang bukan bidangnya. Kedua, apabila pengintaian itu berkaitan dengan kepentingan politik, tentu bisa melanggar mandat UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Nicky melanjutkan, bahwa kegiatan spionase sesama aktor penegakan hukum, yaitu Polri dan kejaksaan, justru bisa menimbulkan preseden yang buruk.

Yang mana seharusnya kedua aparat penegak hukum ini bisa berkoordinasi, melakukan sinkronisasi dan kolaborasi.

Namun, yang terjadi justru adalah semacam kompetisi yang berbahaya.

”Ini berarti tata kelola penegakan hukum di Indonesia ini sedang hancur-hancurnya kalau melihat situasi seperti itu. Karena antaraktor penegakan hukum ini kan tidak sinkron,” ucapnya.

Menurut Nicky lagi, di libatkannya polisi militer untuk mengawal Jampidsus Kejagung bisa berujung runyam karena yurisdiksi yang berbeda.

Karena Polisi Militer seharusnya di libatkan untuk penegakan hukum pidana militer atau kedisiplinan militer.

Adapun, karena kejaksaan berada dalam yurisdiksi penegakan hukum sipil, seharusnya mereka di kawal oleh kepolisian.

”Kalau di biarkan bisa merunyam di kemudian hari. Karena yurisdiksi polisi militer ada di korps kehakiman militer atau oditur militer,” katanya.

“Kalau kemudian polisi militer ini berhadap-hadapan dengan kepolisian bisa rancu dan berbahaya,” tambahnya.

Saling Sikut Antar Dua Penegak Hukum.

Terpisah, Sugeng Teguh Santoso yang merupakan Ketua Indonesia Police Watch atau IPW. Beliau mengatakan, insiden tersebut menunjukkan adanya saling sikut antar dua penegak hukum tersebut dalam suatu tugas.

Beliau menyebutkan bahwa  anggota Densus 88 mustahil bergerak sendiri kalau tak ada perintah dari atasan.

“Ini sudah pasti saling sikut  antar lembaga. Anggota densus tak mungkin atas inisiatifnya sendiri. Perintahnya apa, atasannya siapa, ini yang harus di ketahui,” kata Sugeng.

Sugeng menyebutkan pengawasan Densus 88 terhadap Jampidsus Febrie jelas bertujuan untuk menggali informasi.

Pos terkait