Tasikmalaya, Faktaindonesianews.com – Pagi di Kecamatan Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya, mestinya riuh oleh tawa anak-anak yang berbaris menuju sekolah.
Namun pagi itu berbeda. Di jalan tanah yang menurun, sejumlah murid SDN Cigeureung justru memanggul kotak makanan. Tubuh kecil mereka tertatih, langkahnya pelan, mata mereka menatap jalanan yang telah diaspal.
Bukan karena sedang latihan baris-berbaris atau belajar gotong royong.
Mereka sedang “membantu” dapur penyedia makanan bergizi (MBG) yang kekurangan tenaga. “Boleh dikasih makanannya, tapi angkut sendiri ya dari jalan sampai sekolah,”
begitu kata pihak dapur, ditirukan oleh kepala sekolah.
Begitu ringan diucapkan, tapi begitu berat dipikul oleh anak-anak yang mestinya sedang belajar berhitung dan membaca.
Antara Nasi, Moral, dan Rasa Malu Indonesia punya ribuan program bernama indah: Makanan Bergizi, Sekolah Sehat, Pendidikan Berkarakter.
Namun di Cibalong, semua nama itu seolah kehilangan makna.
Program yang mestinya menumbuhkan gizi, justru mengiris logika moral.
Ketika dapur sekolah “kehabisan tangan,” mereka tak mencari solusi mereka meminjam tangan anak didik.
Dan di situ, hilanglah satu sendok besar empati dari piring pendidikan bangsa ini.
Sebuah Cermin dari Negeri yang Gemar Lupa
Kita sering bangga mengatakan, “anak adalah masa depan bangsa.”






