“Intensitas hujan yang tinggi menyebabkan kolam retensi di beberapa lokasi tidak mampu menampung air,” jelasnya.
Menurut Dian, banjir yang terjadi merupakan bagian dari siklus puncak musim hujan dan termasuk dalam kategori bencana hidrometeorologi. Oleh karena itu, mitigasi bencana tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja, melainkan harus melibatkan pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga terkait.
“Kami selalu berkoordinasi dengan relawan, komunitas, hingga BMKG untuk memastikan langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi musim hujan ini,” tambahnya.
Upaya Preventif Lewat Program Mapag Hujan
Sebagai langkah pencegahan, Diskar PB bersama Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga menggelar program Mapag Hujan, yang melibatkan pembersihan saluran air, sungai, serta penanaman pohon di hulu untuk mengurangi risiko banjir dan longsor.
“Ini bagian dari langkah preventif agar dampak bencana bisa diminimalkan,” jelas Dian.
Meski hingga kini BPBD Kota Bandung belum terbentuk, Dian menegaskan bahwa hal tersebut tidak berarti Kota Bandung tidak memiliki sistem penanggulangan bencana. Namun, ia mengakui bahwa koordinasi antarperangkat daerah masih perlu diperkuat agar lebih efektif.
“Saat ini, pengelolaan bencana masih tersebar di beberapa dinas. Jika BPBD terbentuk, fungsi koordinasi, komando, dan pelaksanaan penanggulangan bencana akan lebih maksimal,” pungkasnya.
Memasuki puncak musim hujan, risiko bencana di Kota Bandung semakin meningkat. DPRD Kota Bandung menekankan pentingnya koordinasi dan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga untuk menghadapi tantangan ini. Selain itu, ketiadaan masterplan drainase menjadi kendala utama yang harus segera diselesaikan guna mencegah banjir yang berulang setiap tahun. Sementara itu, Diskar PB terus melakukan langkah preventif melalui program Mapag Hujan dan berkoordinasi dengan berbagai pihak. Diharapkan, dengan segera beroperasinya BPBD Kota Bandung, penanggulangan bencana di kota ini bisa lebih maksimal dan terkoordinasi dengan baik.