JAKARTA, Faktaindonesianews — Mahkamah Agung (MA) melakukan mutasi besar-besaran terhadap 199 hakim dan 68 panitera pengadilan negeri di seluruh Indonesia. Langkah ini dilakukan menyusul penetapan beberapa hakim dan pejabat pengadilan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Mutasi ini mayoritas menyasar wilayah hukum Jakarta, yang beberapa waktu terakhir menjadi sorotan akibat kasus bebasnya terdakwa dalam perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO) oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat. Tiga hakim dalam kasus itu, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, bersama dengan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan Panitera Wahyu Gunawan, telah ditetapkan sebagai tersangka.
Tak hanya itu, vonis bebas Ronald Tannur di PN Surabaya yang menyeret tiga hakim lainnya—Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heri Hanindyo—juga turut mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Meski demikian, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai mutasi ini hanya memberikan dampak minimal dalam membenahi sistem peradilan. “Mutasi tidak menyelesaikan akar masalah. Problem utama terletak pada sistem dan kultur profesionalnya,” kata Fickar, Rabu (23/4) malam.
Menurut Fickar, upaya bersih-bersih harus disertai dengan reformasi sistem, termasuk pemberian apresiasi bagi hakim jujur dan sanksi tegas untuk pelanggaran sekecil apa pun. “Tidak mungkin terjadi pencegahan selama sistem masih seperti yang lama,” tegasnya.
Senada, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Erma Nuzulia, menyatakan bahwa meskipun mutasi bertujuan baik untuk mencegah konflik kepentingan, hal tersebut bukan solusi utama dalam memerangi mafia peradilan. “Mafia peradilan biasanya bekerja melalui koneksi dengan aparat penegak hukum (APH). Semakin lama hakim bertugas di satu tempat, makin besar potensi kedekatan itu,” ujar Erma.
Erma menyarankan agar MA melakukan pemetaan potensi korupsi dan konflik kepentingan, termasuk keterlibatan panitera, yang selama ini sering menjadi perantara dalam praktik lancung. Ia mencontohkan kasus yang menjerat Zarof Ricar, di mana hakim tidak bersentuhan langsung dengan pihak berperkara, namun tetap terjadi suap melalui panitera.
“Kalau mau bersih-bersih, MA harus mulai dari sana. Pemetaan hakim yang pernah berurusan dengan kasus-kasus korupsi bisa menjadi acuan penindakan,” katanya.
Baik Fickar maupun Erma juga menyoroti lemahnya pengawasan internal dan peran Komisi Yudisial (KY) serta Badan Pengawas MA. Menurut mereka, kedua lembaga ini belum menunjukkan efektivitas dalam membendung praktik kotor di lingkungan peradilan.
“Pengawasan sistemik yang dilakukan KY tidak efektif. Bahkan, hakim ad hoc yang seharusnya mengawasi malah ikut menerima suap,” tutur Fickar.
Di sisi lain, peran masyarakat juga dianggap krusial. Erma mendorong masyarakat untuk aktif melaporkan dugaan pelanggaran etik melalui kanal pengaduan resmi, agar penegakan hukum bisa berjalan lebih transparan.
Mutasi massal oleh MA hanyalah langkah awal. Tanpa pembenahan sistemik, peradilan akan tetap menjadi ladang subur bagi praktik korupsi. Pengawasan ketat, pemetaan risiko, dan peran aktif masyarakat menjadi kunci utama untuk menegakkan integritas hukum di Indonesia.