Menelisik Kebijakan Dana Desa dalam Ketahanan Pangan Pedesaan

Menelisik Kebijakan Dana Desa dalam Ketahanan Pangan Pedesaan

Dalam kasus ini, aspek robustness dapat diterapkan dengan memastikan bahwa investasi pada mesin penggiling padi didukung oleh kelembagaan petani yang kuat serta akses pasar yang terjamin.

Sementara itu, recovery dapat diwujudkan melalui skema reinvestasi dari keuntungan BUMDesa untuk mengembangkan sektor usaha lain, sehingga mengurangi ketergantungan pada satu sektor saja.

Bacaan Lainnya

Adapun reorientation harus diterapkan dengan mendorong BUMDesa agar mampu beradaptasi terhadap perubahan pasar dan kebijakan, misalnya dengan mengembangkan diversifikasi produk berbasis beras atau menjalin kemitraan dengan koperasi konsumen.

Tanpa strategi berbasis ketiga prinsip tersebut, sistem yang dibangun tidak hanya kehilangan ketahanannya, tetapi juga cenderung terus bergantung pada intervensi eksternal tanpa arah yang jelas.

Selain itu, aspek risiko dan gangguan dalam sistem pangan desa sering kali diabaikan dalam implementasi kebijakan Dana Desa. Studi Béné et al. (2025) menunjukkan bahwa sistem pangan rentan terhadap berbagai shocks and stresses, baik yang bersifat lokal seperti perubahan harga komoditas dan kegagalan panen, maupun yang lebih luas seperti perubahan iklim dan ketidakstabilan pasar global.

Banyak program ketahanan pangan desa mengalami stagnasi karena kegagalan dalam mengantisipasi titik kritis (tipping points) yang dapat menyebabkan pergeseran sistem secara besar-besaran.

Sebagai contoh, BUMDesa yang mendapatkan penyertaan modal sering kali mengalokasikan dana ke sektor yang kurang produktif, seperti pembelian alat tanpa strategi bisnis yang jelas.

Akibatnya, sebagaimana diramalkan oleh Béné et al. (2025), sistem mengalami over-reliance pada dukungan eksternal tanpa ada mekanisme pemulihan internal. Hal ini juga berdampak pada keberlanjutan sosial, di mana investasi yang tidak tepat sasaran menghambat upaya membangun sistem pangan yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Padahal, jika dikelola dengan baik, penyertaan modal seharusnya dapat menciptakan kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat, seperti membuka lapangan kerja bagi kelompok rentan, memperkuat modal sosial antarpetani, serta memastikan bahwa praktik pertanian yang diterapkan tetap menjaga keseimbangan ekologis.

Oleh karena itu, strategi pengelolaan dana desa untuk ketahanan pangan harus bergeser dari pendekatan administratif ke pendekatan berbasis sistem. Ini berarti pengelola anggaran di desa harus memahami bagaimana kebijakan permodalan dapat membangun sistem pangan yang berdaya, adaptif, dan inklusif.

Sistem pangan yang mampu memberdayakan petani kecil dengan akses terhadap teknologi, pasar, dan modal yang berkelanjutan, sehingga mereka tidak hanya menjadi produsen tetapi juga aktor ekonomi yang mandiri.

Misalnya, di beberapa desa yang menerapkan skema kemitraan antara BUMDesa dan koperasi petani, hasil panen tidak hanya diolah secara lokal untuk meningkatkan nilai tambah, tetapi juga didistribusikan langsung ke konsumen melalui platform digital, memastikan harga yang lebih adil dan stabil bagi petani.

Mewujudkan sistem pangan yang berdaya, adaptif, dan inklusif bukanlah hal yang mudah karena masih banyak tantangan struktural, seperti keterbatasan akses permodalan bagi petani kecil, ketergantungan pada rantai distribusi yang dikuasai tengkulak, serta minimnya kebijakan yang benar-benar mendukung diversifikasi usaha berbasis lokal.

Salah satu solusi yang mungkin masih bisa dijangkau adalah memperkuat kelembagaan lokal seperti koperasi petani atau BUMDesa yang dikelola secara transparan dan partisipatif, dengan dukungan regulasi yang memastikan akses permodalan, pendampingan usaha, serta integrasi dengan pasar yang lebih luas.

Model yang diusulkan oleh Polycentric Governance (Ostrom, 2009) menunjukkan bahwa desa tidak bisa hanya bergantung pada regulasi tunggal dari pusat, tetapi perlu menciptakan mekanisme pengelolaan yang lebih fleksibel, berbasis pada pembelajaran kolektif dan inovasi komunitas.

Jika tidak, maka kegagalan dalam penyertaan modal ke BUMDesa akan terus berulang, dan program ketahanan pangan berbasis Dana Desa hanya akan menjadi proyek yang kehilangan makna substantif bagi kesejahteraan masyarakat desa.

 

* Oleh: Dr Emi Hidayati, M Si, Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.

*Sumberpost: Timesindonesia

Pos terkait